Sedikit berbagi cerita tentang Penghulu Tiga Lorong yang banyak disebut-sebut di Kecamatan Peranap. Pasti banyak yang tidak mengetahui atau ada yang bertanya-tanya, yuk mari kita simak.
Peranap adalah salah
satu kecamatan di Indragiri Hulu, Riau, Indonesia. Kecamatan ini juga terkenal
dengan sebutan Luhak Tiga Lorong. Disebut demikian, karena pada masa kerajaan
Indragiri yang berkedudukan di Pekan Tua, Raja Indragiri yang ke-16, Raja Hasan
bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah (1735-1765 M.), mengangkat tiga orang
bersaudara menjadi Penghulu di tiga wilayah di Indragiri Hulu. Ketiga orang
bersaudara tersebut diangkat menjadi Penghulu, karena mereka berhasil menumpas
kesewenang-wenangan Datuk Dobalang yang berkuasa di negeri Sibuai Tinggi yang
masih wilayah Kerajaan Indragiri. Untuk mengetahui kisah bagaimana Tiga
Bersaudara tersebut mengalahkan Datuk Dobalang, ikuti kisahnya dalam Penghulu
Tiga Lorong.
Pada zaman dahulu,
ketika ibukota Kerajaan Indragiri berada di Pekan Tua, tersebutlah tiga orang
bersaudara bernama Tiala, Sabila Jati, dan Jo Mahkota. Ketiganya pandai, gagah
perkasa dan menguasai ilmu bela diri. Mereka mahir menggunakan senjata, lincah
mengelak serangan lawan, gesit menyerang, dan cerdik pula berkelit. Mereka
hidup rukun dan saling membantu dalam segala hal di suatu tempat bernama Batu
Jangko.
Pada suatu hari,
mereka pergi untuk mencari tempat yang lebih baik, yang tanahnya subur, airnya
jernih, ikannya jinak, dan udaranya segar. Dari satu tempat ke tempat lain,
Tiga Bersaudara ini akhirnya tiba di Koto Siambul dan memutuskan untuk menetap
di tempat tersebut.
Sementara itu, di
istana, Raja Indragiri sangat resah, karena Datuk Dobalang yang berkuasa di
Negeri Sibuai Tinggi bertindak semena-mena. Dia suka berjudi, menyabung ayam,
bermabuk-mabukan, dan memperlakukan rakyatnya dengan kejam. Raja Indragiri
sudah muak dengan tingkah laku Datuk Dobalang. Sang Raja kemudian memerintahkan
Duli Yang Dipertuan Besar Indragiri untuk memanggil Tiga Bersaudara yang
dikabarkan berada di Koto Siambul. Sang Raja sudah mengetahui tentang kehebatan
Tiga Bersaudara tersebut.
Duli Yang Dipertuan
Besar Indragiri segera melaksanakan perintah Raja. Dia memudiki sungai, hingga
akhirnya tiba di Koto Siambul dan bertemu dengan Tiga Bersaudara yatiu Tiala,
Sabila, Jati, dan Jo Mahkota. “Wahai anak muda, Baginda Raja meminta kalian
menghadap ke istana di Pekan Tua,” sapa sang Duli kepada Tiga Bersaudara.
Karena permintaan Raja, mereka tidak bisa menolak. Mereka pun berangkat ke
istana menghadap sang Raja.
Sesampai di hadapan
Raja, mereka pun memberi hormat, “Ampun, Baginda! Apa gerangan Baginda Raja
memanggil kami,” tanya ketiga bersaudara serentak. Sang Raja menjawab, “Begini
saudara-saudara, kami bermaksud meminta bantuan kalian untuk menaklukkan Datuk
Dobalang yang telah bertindak semena-mena di Negeri Sibuai Tinggi.” Mendengar
jawaban sang Raja, mereka pun menyanggupi permintaan sang Raja.
Sebagai bekal,
masing-masing mengajukan perlengkapan yang diperlukan. Tiala meminta seekor
ayam sabung betina dan dua buah keris bersarung emas buatan Majapahit. Sabila
Jati meminta pedang Jawi yang hulunya bertatahkan intan dengan tulisan
“Muhammad”. Jo Mahkota meminta lembing dengan sarung emas dan suasa.
Setelah Raja memenuhi
semua perlengkapan yang diminta, berangkatlah ketiga bersaudara tersebut ke
Sibuai Tinggi dengan sebuah perahu yang dikayuh oleh 12 orang. Setiba di Sibuai
Tinggi, mereka langsung ditemui oleh Datuk Dobalang dan ditantang untuk
bersabung ayam. Ketiga bersaudara pun bertanya kepada Datuk Dobalang, “Maaf,
Datuk! Apa pantang larangnya? Datuk Dobalang menjawab, “Ada empat pantang
larang yang harus dipatuhi dalam pertandingan, yaitu:
1.
Pertama, dilarang bersorak dan bertepuk tangan.
2.
Kedua, dilarang memekik dan menghentak tanah.
3.
Ketiga, dilarang menyingsingkan lengan baju.
4.
Keempat, dilarang memutar keris ke depan.
“Siapa yang melanggar
peraturan tersebut dianggap kalah,” tegas Datuk Dobalang dengan pongahnya.
Kemudian ketiga
bersaudara bertanya lagi, “Berapa taruhannya Datuk?” Datuk Dobalang menjawab,
“Tanah Inuman di kiri Sungai Indragiri, yang lebar dan panjangnya sejauh mata
memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi.” Mendengar begitu luasnya tanah yang
dipertaruhkan Datuk Dobalang, ketiga bersaudara diam sejenak. Mereka berpikir
bagaimana cara mengimbangi besarnya taruhan yang ditetapkan oleh Datuk
Dobalang. Karena kecerdikan mereka, dengan percaya diri mereka pun berujar
serentak, “Kami memberikan taruhan tanah Koto Siambul di kiri Sungai Indragiri,
lebar dan panjangnya sehabis mata memandang dari gelanggang Sibuai Tinggi,”
Sesungguhnya mereka tidak mempertaruhkan apa-apa, sebab Koto Siambul tidak
dapat dilihat dari Sibuai Tinggi. Namun, Datuk Dobalang menerima taruhan itu
tanpa menyadari kebodohannya.
Setelah kedua belah
pihak menetapkan taruhan, saatnya menentukan hari pelaksanaan pertandingan
sabung ayam. “Hai anak muda, kapan kita laksanakan pertandingan itu,” tanya
Datuk Dobalang. “Terserah tuanku,” jawab ketiga bersaudara serentak. “Kalau begitu,
kita laksanakan tiga hari lagi, sebab kami harus mengumpulkan para penduduk di
gelanggang,” ujar Datuk Dobalang.
Saat yang
dinanti-nanti pun tiba. Pada hari ketiga, pertandingan Sabung ayam itu pun
segera dilaksanakan. Semua penduduk berkumpul di gelanggang Sibuai Tinggi untuk
menyaksikan pertarungan itu. Sesaat sebelum pertandingan dimulai, suasana
gelanggang menjadi hening. Datuk Dubalang melepas ayam jagonya, sedangkan tiga
bersaudara melepas ayam betinanya. Beradulah kedua ayam tersebut dengan seru.
Baru beberapa saat pertandingan berlangsung, tiba-tiba ayam betina Tiga
Bersaudara terkena kelepau (serangan) hingga sayapnya patah. Datuk Dobalang
sangat gembira hingga bersorak, bahkan memekik dan menghentak tanah. Tanpa ia
sadari, semua aturan yang dibuatnya, dilanggarnya sendiri.
Berkali-kali Tiga
Bersaudara mengingatkan Datuk Dobalang bahwa dia telah melanggar peraturan, dan
siapa pun yang melanggar peraturan harus dianggap kalah. Namun, Datuk Dobalang
tidak peduli. Kesabaran itu ada batasnya. Tiga bersaudara tidak tahan lagi
melihat tingkah si Datuk angkuh itu, sehingga kesabaran mereka pun habis.
Sambil bersiap mengantisipasi serangan Dato Dobalang, mereka melantunkan sebuah
gurindam:
“Penat mau bergalah
coba-coba mengala
Penat hendak mengalah dicoba
membalas”
Ternyata benar. Baru
saja gurindam itu lepas dari mulut Tiga Bersaudara, tiba-tiba Datu Dobalang
menyerang mereka dengan kerisnya. Tiga Bersaudara sudah siap, sehingga dengan
mudah mereka mengelak dan balas menyerang Datuk Dobalang. Serang-menyerang
berlangsung dengan seru. Pekikan dan bentakan bersahut-sahutan. Berkali-kali
Datuk Dobalang mengayunkan kerisnya ke arah Tiga Bersaudara, berkali-kali pula
Datuk Dobalang memekik geram karena serangannya dapat dielakkan oleh Tiga
Bersaudara.
Suasana di gelanggan
semakin gaduh. Penduduk yang ada digelanggan itu hanya terperangah menyaksikan
sengitnya perkelahian antara Datuk Dobalang dengan Tiga Bersaudara. Mereka
menyaksikan sendiri Tiga Bersaudara berkali-kali berkelit mengelakkan tikaman
Datuk Dobalang. Melihat serangannya selalu dipatahkan oleh Tiga Bersaudara,
dengan menggeram macam singa lapar, Datuk Dobalang menyerang Tiga Bersaudara.
Karena ia dalam keadaan emosi, ia tidak dapat mengendalikan serangannya dengan
baik, sehingga tampak serangannya membabi buta. Tentu saja kelengahan itu tidak
disia-siakan oleh Tiga Bersaudara. Dengan secepat kilat, Ketiga Bersaudara
tersebut mengeluarkan senjata masing-masing yang mereka minta dari Raja
Indragiri. Akhirnya, pusaka-pusaka sakti tersebut membuat Datu Dobalang tewas
jatuh tersungkur ke tanah.
Penduduk yang hadir di
gelanggang itu segera mengerumuni mayat yang tergeletak itu. Mereka ingin
memastikan apakah Datuk Dobalang benar-benar sudah mati. Dari kerumanan itu,
sesekali terdengar decak kagum atau geleng kepala takjub akan keberhasilan Tiga
Bersaudara mengalahkan orang yang paling ditakuti di Negeri Sibuai Tinggi.
Penduduk Sibuai Tinggi bergembira ria, sebab mereka sudah bisa mencari nafkah
sehari-hari tanpa dihantui rasa takut.
Selanjutnya, Tiga
Bersaudara memasukkan jasad Datuk Dobalang ke dalam peti dan segera membawanya
ke hadapan Raja Indragiri. Sang Raja sangat gembira melihat keberhasilan Tiga
Bersaudara mengalahkan Datuk Dobalang. Atas jasa-jasanya itu, sang Raja meminta
kepada Tiga Bersaudara menyebutkan hadiah yang mereka inginkan. “Wahai
pahlawanku, hadiah apa yang kalian inginkan?” seru sang Raja menawarkan. Tiga
bersaudara tidak mengharapkan uang, emas, ataupun harta benda yang lain. “Kami
hanya meminta sesuatu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk karena hujan
seumur hidup,” kata Tiala mewakili saudara-saudaranya.
Sang Raja tidak
mengerti apa maksud perkataan Tiala itu. Sang Raja pun mengumpulkan para
menteri dan orang-orang tua yang bijak untuk mengadakan rapat tentang permintaan
Tiga Bersaudara tersebut. Selama delapan hari mereka berpikir keras untuk
mencari tahu apa yang dimaksud oleh Tiga Bersaudara tersebut. Atas petunjuk
Tuhan, akhirnya mereka menyimpulkan bahwa yang diinginkan Tiga Bersaudara
adalah pangkat.
Ketiga Bersaudara
tersebut kemudian diangkat menjadi Penghulu Tiga Lorong. Tiala diangkat menjadi
Lelo Diraja, Penghulu Baturijal Hilir lawan Sungai Indragiri dengan bendera
berwarna putih. Sabila Jati diangkat menjadi Dana Lelo Penghulu Pematang lawan
Batanghari, dengan bendera berwarna hitam. Adapun Jo Mahkota diangkat menjadi
Penghulu Baturijal Hulu dengan anugerah dua bendera, yaitu bendera merah dari
Raja Indragiri dan bendera hitam dari Raja Kuantan.
Atas anugerah pangkat
yang mereka terima, Penghulu Tiga Lorong bersumpah, Tiada boleh akal buruk Budi
merangkak Menggunting dalam lipatan Memakan darah di dalam Makan sumpah 1000
siang 1000 malam. Ke atas dak bapucuk, Ke bawah dak baurat, Dikutuk kitab Al
Qur‘an 30 juz.
Tiga Bersaudara
selanjutnya menerima hadiah tanah Tiga Lorong yang tanahnya subur, udaranya
sejuk, airnya jernih, rumputnya segar, serta ikannya jinak. Mereka membangun
wilayah Tiga Lorong sehingga hasil pertaniannya berlimpah, jalan-jalan dan
bangunannya tertata rapi, perniagaannya maju, serta keseniannya berkembang
pesat. Rakyat yang terdiri dari berbagai suku hidup rukun, saling menghargai,
serta menjalankan syariat agama dengan taat.
Sejak peristiwa di
atas, ketiga orang bersaudara tersebut berusaha memajukan rakyat Tiga Lorong
(sekarang dikenal Kecamatan Peranap). Berdasarkan penelitian yang pernah
dilakukan oleh Isjoni Ishak dan Mira Dewi Minrasih, ada beberapa usaha yang
telah mereka lakukan dalam memajukan masyarakat Baturijal khususnya, dan Tiga Lorong
umumnya, antara lain:
1.
Menyatukan rakyat yang bermacam-macam suku bangsa melalui
pendekatan sosial
2.
Meningkatkan perekonomian rakyat melalui bidang pertanian,
perkebunan dan perikanan.
3.
Menanamkan sifat solidaritas kepada masyarakat Tiga Lorong.
Dalam hal ini, mereka tidak mau ikut campur dalam pelaksanaan adat-istiadat
masyarakat yang berlainan tersebut.
4.
Menanamkan nilai-nilai ajaran agama Islam yang berpedoman kepada
Alquran bagi masyarakat Tiga Lorong.
Usaha-usaha yang telah
mereka lakukan tersebut memberikan dampak positif bagi masyarakat desa Tiga
Lorong. Hal ini terbukti dengan meningkatnya ekonomi masyarakat. Selain itu,
masyarakat Tiga Lorong sangat taat terhadap ajaran-ajaran Islam yang sesuai
dengan Alquran dan Sunnah Rasulullah.
Cerita Penghulu Tiga
Lorong ini kiranya dapat dijadikan sebagai suri tauladan untuk menciptakan
negara yang damai, sejahtera dan makmur. Penguasa yang zalim terhadap rakyat
harus dilenyapkan dari muka bumi. (SM/sas/13/7-07)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar